Powered By Blogger

Minggu, 29 Maret 2020

Santri Mengabdi (2)


Sebuah angkutan umum berhenti didepan sebuah bangunan yang memiliki plakat dengan tulisan ‘Pondok Pesantren Tarbiyatul Qur’an’. Seorang santri berseragam tsanawiyah turun dari angkutan umum itu. Ia membayar ongkosnya lalu berjalan hendak masuk pesantren. Tetapi, langkahnya terhenti setelah melihat sebuah mobil Kijang berwarna krem yang terparkir di halaman depan pesantren. Ia merasa tak asing dengan mobil yang terparkir itu. Kemudian ia berjalan mendekat.
Benar. Seorang lelaki setengah baya keluar dari pintu depan tempat kemudi. Kemudian diikuti oleh seorang perempuan setengah baya yang juga keluar dari pintu depan mobil. Dari pintu belakang mobil, dua bocah laki-laki keluar, yang satu berumur lima tahun, yang satu lagi berumur dua belas tahun. Mereka mendekati santri itu dan menanyakan sesuatu padanya. Mereka adalah orang tua dan kedua adiknya Yahya yang datang untuk sambang setelah menghadiri sebuah acara di Malang.
Santri itu menceritakan semuanya kepada mereka. Kapan, mengapa, dimana, dan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Kedua orang tua Yahya sangat terkejut mendengar semua penjelasannya. Mamanya Yahhya bahkan tak lagi bisa membendung  air matanya. Mendengar semua itu, Ayahnya Yahya langsung meminta santri itu untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit tempat Yahya dirawat.
Lima belas menit perjalanan dari pesantren ke rumah sakit. Sebuah mobil Kijang berwarna krem berhenti di tempat parkir. Semua penumpangnya turun dan segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit, tepatnya menuju ruang UGD. Setelah sampai tepat di depan ruang UGD, pemandangan disana masih tetap sama. Di depan sana masih banyak santri dengan wajah cemas dan rasa khawatir yang mendalam.
Mamanya Yahya melihat putranya itu dari balik jendela kecil di pintu ruang UGD. Beliau kembali meneteskan air mata. Di dalam sana, putranya terlihat begitu lemah. Mukanya yang sebelah kiri penuh dengan darah. Tangannya yang sedikit membiru terlilit oleh infus yang airnya terus menetes sedikit demi sedikit. Bukan hanya selang infus yang melilit tangannya. Tetapi selang yang terhubung dengan tabung oksigen pun terpasang di hidungnya.
Tiga jam sudah Yahya terbaring lemah tak sadarkan diri diatas ranjang rumah sakit itu. Matanya masih tertutup rapat. Bibirnya juga sama. Wajah kirinya yang tergores aspal masih merah dan sesekali masih mengeluarkan darah, karena lukanya memang lebar. Bersyukur bahwa dokter mengatakan ia sudah lebih baik. Dokter juga mengatakan bahwa mungkin luka di wajahnya itu akan meninggalkan bekas yang sulit hilang.
“Allah... Allah... Allah...” ditengah keheningan rumah sakit, bibir Yahya bergetar menyebut asma Allah. Ia sudah sadar. Yahya sudah sadar. Mamanya yang sebelumnya terus berdzikir, seketika menghentikan dzikirnya. Ibrahim, adiknya Yahya yang menangis sedari datang sore tadi menghentikan tangisnya seketika.
“Mas, Allah selalu ada bersamamu! Ayo sadar! Kamu jangan seperti ini terus, Mama ini khawatir!” ucap Mamanya Yahya tepat di telinga Yahya sambil meneteskan air matanya karena memendam rasa cemas dan rasa khawatir yang mendalam. Yahya merespon. Ia kemudian sedikit membuka matanya.
“Mas Yahya, sampean sudah sadar. Ayo coba sampean muraja’ah hafalan Al-Qur’an dari juz satu!” Mas Toni asal berucap.
“Audzubillahiminassyaithanirrajim, bismillahirrahmanirrahim...” Yahya kemudian merespon ucapan yang keluar dari bibir Mas Toni. Mas Toni dan Mas Sina yang ikut menunggui disitu terkejut bukan main. Padahal itu hanyalah ucapan yang asal ucap saja dari bibir Mas Toni. Tetapi Yahya meresponnya dengan ucapan yang serius.
Yahya dengan fasih mengucapkan huruf demi hurufnya. Dimulai dari juz satu. Mas Toni seketika itu membuka mushaf kecilnya. Ia menyimaknya dengan teliti. Jika ada kata yang salah, ia betulkan. Jika ada kalimat yang terlewat, ia luruskan. Sampai diakhir ayat juz satu. Yahya berhenti. Ia menarik nafas. Matanya yang sedari tadi hanya terbuka sedikit dikedip-kedipkannya.
Mamanya yang duduk disamping kanannya tanpa sadar meneteskan air mata. Itu bukan air mata kesedihan, bukan juga air mata kecemasan seperti sebelumnya. Tetapi, itu adalah air mata kebahagiaan dan air mata kebanggaan dari seorang Ibu yang selalu berharap berhasil mendidik anak-anaknya.
“Allah...” Yahya kembali menyebut asma Allah.
“Allah selalu ada bersamamu, Mas. Kenapa muraja’ahannya dihentikan? Mama masih ingin mendengarkan kamu memuraja’ah hafalanmu lagi!” ucap Mamanya berbisik lagi di telinga Yahya. Yahya merespon lagi. Ia lalu melanjutkan hafalan Al-Qur’annya. Bahkan sekarang Mamanya sendiri yang menyimak. Sambil menyimak, air mata Mamanya tak henti-hentinya mengalir.
Hingga setengah jam setelahnya lagi. Pukul sembilan malam. Sudah selesai juz dua. Mamanya menghentikannya. Beliau menyuruh putranya itu untuk berhenti dan segera istirahat saja. Meski tak ada isyarat menerima, Yahya dengan spontan berhenti. Bibirnya tertutup rapat. Matanya yang sempat terbuka, sekarang juga tertutup rapat. Tangannya yang dililit oleh infus juga tak lagi bergerak. Ia mungkin sudah tertidur.
***
Pukul empat lebih empat puluh pagi. Adzan subuh sayup-sayup berkumandang. Menembus dinginnya udara pagi dengan suhu enam belas derajat celsius. Yahya sudah terbaring di kasur kamarnya. Terbaring lemah dengan selimut yang menutupi separuh tubuhnya. Matanya masih tertutup rapat. Serapat genggaman tangan adiknya, Ibrahim yang selalu menemaninya di kamarnya selama dua hari ini.
  Pagi itu, pukul delapan. Dua hari setelah kecelakaan itu terjadi. Yahya sudah membuka matanya. Ia sudah sadar sepenuhnya. Walau ia hanya bisa duduk saja di kasur kamarnya. Mamanya menanyakan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Tetapi Yahya tak ingat apapun. Bahkan saat ia memuraja’ah hafalannya pun ia tak ingat. Yang ia ingat hanyalah gelap. Sangat gelap hingga ia tersadar pagi itu.
Di tempat yang lain. Di waktu yang lain. Dengan suasana yang lain. Seseorang dengan balutan mukena putihnya sedang menengadahkan kedua tangannya. Matanya basah oleh air mata. Bibirnya terus komat-kamit tak bersuara. Ia berdoa untuk orang yang jauh disana. Ia berdoa untuk kesembuhan orang itu. Ia pun tak tahu apakah orang yang didoakannya itu tahu bahwa ia mendo’akannya. Itu tak penting. Yang terpenting adalah doanya itu bisa sampai kepadanya. Doa untuk Yahya yang kabar kecelakaannya baru diketahuinya pagi ini. Saat itu, tanpa sadar ia terus meneteskan air mata.
***
Seperti bersinarnya kembali matahari setelah melewati malam yang panjang. Seperti sejuknya udara setelah mengalami kegerahan. Dunia seakan hidup kembali. Dunia seakan menyapa kembali. Sadarnya Yahya dari tidur panjangnya selama berhari-hari ini membuat kedamaian di hati seluruh keluarganya, terutama Mamanya. Kecemasan dan kekhawatiran yang ada dalam hati beliau lenyap seketika.
Sepuluh hari setelah kecelakaan itu, Yahya sudah pulih seutuhnya. Ia sudah bisa duduk dan berbicara banyak, bahkan bercanda. Berbeda dengan sebelumnya yang ia hanya bisa terbaring lemah diatas kasur saja. Luka di wajahnya sedikit demi sedikit juga sudah mulai membaik. Kamar itu. Rumah itu. Sudah memiliki nyawa kembali. Rumah itu bernyawa karena kesembuhan Yahya dan kembalinya canda tawa dari para penghuninya.
Berhari-hari sudah Yahya pulang ke Probolinggo. Ia tidak tahu bagaimana keadaan teman-temannya di Malang. Bagaimana pelajarannya di sekolah. Bagaimana setoran hafalannya di Pondok. Ia tidak tahu. Ia hanya berharap bahwa pemulihan di wajahnya itu bisa berjalan dengan cepat, agar ia bisa segera kembali ke Malang. Bertemu dengan teman-teman hebat. Bertemu dengan Mas-mas pondok. Bercanda bersama mereka. Tertawa bersama mereka. Ia telah rindu masa-masa itu. Apalagi ia belum mengucapkan rasa terima kasihnya kepada teman-teman yang sudah membantunya saat kecelakaan itu.

Tidak ada komentar: