Powered By Blogger

Senin, 30 Maret 2020


Dia Bagaikan?

Tatapannya meneduhkan
Jiwanya membuat tenteram
Bagai matahari saat siang
Juga ibarat rembulan saat malam

Dia bagai gelombang yang berjalan
Dan awan putih yang berlari kencang
Dia seumpama pohon yang rindang
Dengan akar yang menjulur panjang

Suaranya terdengar berdendang
Dengan kefasihan yang meyakinkan
Dan lirih seperti adzan subuh berkumandang

Raut wajahnya bagai kertas yang diremas
Namun derap langkahnya seakan kuda yang siap berperang
Hingga air gemericikpun turut mendengar
Lantunan lembut suara Sang Pujaan
Menjadikan hati terus tak beraturan

Batu, 26 November 2019 (r)

Minggu, 29 Maret 2020

Keutamaan Sholawat Kepada Baginda Nabi Muhammad SAW


 Sholawat adalah suatu syiir-syiir atau ungkapan cinta kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Dan Allah juga memerintahkan kita khususnya orang-orang yang beriman untuk selalu bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Allah berfian dalam QS. Al-Ahzab:56
إِنَّ اللَّهَ وَمَلٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِىِّ  ۚ يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya." 
Dan Nabi Muhammad juga bersabda:
من صلى علي صلاة صلى الله عليه بما عشرا
" Barangsiapa bersholawat kepadaku satu kali, maka Allah akan membalasnya sebanyak 10 kali". Dan ini adalah suatu keistimewaan yang sangat agung bagi orang-orang yang beriman. Dan orang yang banyak bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW maka orang tersebut Akan bersama dengan Nabi Muhammad SAW di surga. Seperti yang dikatakan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya
(ان أولى الناس بي يوم القيامة اكثرهم علي صلاة (الحديث"
"Sesungguhnya orang dekat denganku di hari kiamat kelak, adalah orang yang banyak bersholawat kepadaku" (Al-Hadist). 
Dan ada pepatah juga mengatakan
المرء مع من احب
"Orang akan bersama dengan orang yang dicintainya". Bahkan di ceritakan ada seorang ulama yaitu Shahib Dalail Al Khoirot Al Imam Jazuli beliau bersama dengan murid-murid nya Berjalan, dan ketika sudah masuk waktu sholat, beliau bersama murid-murid nya mencari air untuk berwudhu dan beliau bersama murid-muridnya menemukan sumur tetapi tidak ada tali dan timba untuk mengambil air. Maka pada saat mulai kebingungan ada seorang anak kecil yang bermain di sekitar tempat itu dan anak itu Bertanya kepada Imam Jazuli, "Anda siapa Tuan, mengapa Anda berada di tempat yang sunyi ini?" tanya anak kecil tersebut, lalu Imam Jazuli menjelaskan tentang siapa beliau dan kesulitan apa yang beliau hadapi. Lalu anak itu menjawab, "Anda adalah lali-laki yang terpuji dan terkenal dengan kesholehanmu!" jawab anak itu. Lalu anak itu mencarikan timba untuk menimba air di sumur, tetapi anak itu tidak menemukan timba tersebut. Lalu ia langsung menghampiri sumur tersebut dan meludah di sumur tersebut. Lalu dengan karomah anak tersebut air yang ada di sumur yang sangat dalam tersebut meluap sampai ke atas permukaan tanah. Lalu Imam Jazuli dengan sangat kagum Bertanya kepada anak itu, "amalan apa yang kau kerjakan sehingga kau dapat mencapai maqam yang se tinggi ini?." maka anak itu menjawab "aku memperbanyak Sholawat Kepada Nabi Muhammad SAW." bahkan ada riwayat lain bahwa anak tersebut bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW sebanyak 150.000 kali setiap hari. Maka tak heran jika anak itu memiliki karomah seperti itu. Jika kita selalu mengingat ngingat Rasulullah Dalam benak kita maka InsyaAllah Rasulullah akan mengingat kita maka dari itu jalan satu-satu nya untuk mengingat Rasulullah adalah dengan bersholawat dan membaca sirah beliau SAW. Sebagai penutup ada kata pepatah mengatakan:
من أحب شيءاكثر من ذكره
"Seorang yang mencintai sesuatu, maka ia akan banyak mengingatnya" 
Sekian dari saya Semoga bermanfaat Dunia San Akhirat...... Aamiin

Wassalamu'alaikum Warahamtullah Wabarokaatuh

Malu Menjadi Anak Jurusan Agama?


Malu Jadi Anak Jurusan Agama?

   Mengapa kalian bisa minat dengan pilihan jurusan agama? Mengapa tidak ambil jurusan yang lain saja, seperti IPA misalnya? Lalu apa rencana kalian ke depan jika ambil jurusan agama?
Banyak orang berpikir bahwa hanya jurusan IPA saja yang siswanya pintar dan berprestasi. Jurusan yang lain hanya dipandang sebelah mata. Tanpa tahu apa yang sebenarnya menjadi pelajaran setiap harinya.
   Apa mungkin dalam hati kalian ada rasa malu menjadi bagian dari siswa jurusan agama? Jika ada, mengapa kalian malu? Atas dasar apa kalian malu?
  Jika kalian tidak menjadi diri seorang siswa jurusan agama, maka saat itulah kalian harusnya malu. Anak agama itu harus jadi pelopor kebaikan. Sholat berjamaah harus berada di shaf terdepan. Bagi lelaki, kopyah seharusnya tidak pernah terlepas dari kepala.
  Untuk wanita, jaga batasan. Ucapan itu aurat. Tingkah itu cerminan hati. Kelembutan itu harusnya menjadi sifat khas seorang muslimah. Anak agama seharusnya dapat menjalankan semua peraturan sesuai syari’at. Jika kalian sama dengan anak muda pada umumnya - yang sering bergaul tanpa batas – maka kalian belum menunjukkan rasa malu kalian sebagai anak agama. Kalian belum menunjukkan jati diri kalian sebagai anak agama.
  Mari kita sama-sama belajar menjadi pribadi yang lebih baik di satu detik yang akan datang. Di satu menit yang akan terlewatkan. Tunjukkan jati diri kalian sebagai pelajar yang mampu menjadi pelopor kebaikan.(r)

Santri Mengabdi (3)


Hari masih gelap. Rembulan masih bersinar terang. Suhu udara masih dingin menggigit. Menyisakan embun pada dedaunan. Yahya berjalan santai dari kamar mandi pesantren menuju kamarnya. Sampai di kamar, ia langsung mengenakan kopyah hitamnya yang tersimpan di lemari. Lalu mengoleskan minyak wangi di kemejanya. Kemudian mengambil mushafnya lalu keluar lagi menuju aula pesantren.
Masih pukul tiga dini hari. Masih sekitar satu jam lagi menuju adzan Subuh berkumandang. Yahya berdiri, lalu takbiratul ihram. Ia sholat tahajud empat rakaat kemudian ia lanjut dengan nderes hafalan Al-Qur’annya juz empat. Yahya memajukan kopyahnya hingga menutupi keningnya, kemudian menundukkan kepalanya. Bibirnya terus komat-kamit tak bersuara. Hanya suara riuh para santri yang terdengar jelas di telinga.
Masjid yang berada dekat dengan pesantren itu mulai mengumandangkan adzan subuh tepat satu jam kemudian. Sayup-sayup lantunannya terdengar dari aula pesantren. Tempat dimana Yahya duduk dan melantunkan ayat-ayat suci-Nya. Yahya spontan menghentikan hafalannya. Ia menutup mushafnya lalu menjawab panggilan-Nya. Setelah lantunan adzannya selesai, ia membaca doa. Lalu berdiri lagi kemudian takbiratul ihram lagi. Yahya melaksanakan salat sunah qobliyah subuh. Karena ia ingat perkataan guru bahasa indonesianya, Pak Imam Ghozali, bahwa melaksanakan salat sunah qobliyah subuh, begitu banyak keutamaannya.
Waktu subuh di pesantren tak ada lantunan adzan. Hanya ada salat jamaah subuh dan setoran pagi bersama dengan Pak Kiai. Pukul empat kurang sepuluh menit. Pak Kiai mulai membangunkan para santrinya yang masih berlayar dalam mimpi mereka. Beliau membawa sebuah alat semprot lengkap dengan airnya. Ini merupakan kebiasaan di pesantren. Bahwa siapapun yang bangunnya terlambat, muka dan tempat tidurnya akan basah dengan semprotan air dari Pak Kiai
Yahya jadi mengingat sesuatu. Ia ingat bahwa dirinya juga pernah terkena semprotan air dari Pak Kiai saat terlambat bangun salat subuh karena ia sedang sakit saat itu. Yahya menyungging senyum kecil di bibirnya. Kemudian melihat Pak Kiai yang masuk ke kamarnya. Ia bersyukur bahwa ia sudah berada di aula saat itu. Kemudian ia mengambil nafas panjang. Lalu mendengar suara Pak Kiai yang mengingatkan para santrinya agar jangan pernah terlambat bangun lagi.
Suara iqamah sayup-sayup dilantunkan oleh salah satu santri senior di pesantren. Saat iqamah selesai dikumandangkan, semua yang ada di aula langsung berdiri. Salat jamaah subuh siap dilaksanakan. Pak Kiai mengambil posisi sebagai imam. Kemudian membalikkan badan dan mengingatkan jamaahnya untuk merapatkan shaf agar salatnya lebih sempurna. Yahya berada pada shaf paling depan. Ia menikmati ibadahnya itu. Saat itu ia hanyalah mengingat Allah, Allah, dan Allah. Tak ada yang lain dalam pikirannya kecuali Allah, satu-satunya Tuhan yang patut disembah.
Salat jamaah subuh sudah selesai, dilanjut dengan dzikir sesudah salat kemudian dzikir wajib Ratibul Haddad. Setelah itu Pak Kiai mengangkat tangannya dan berdoa. Seperti biasa, doa beliau begitu panjang. Karena memang beliau harus mendo’akan banyak orang, termasuk santrinya yang harus beliau didik menjadi insan yang bermanfaat.
Setelah jamaah subuh selesai, semua santri diwajibkan setoran hafalannya kepada Pak Kiai. Yahya membaca taawudz kemudian basmalah saat hendak memulai setorannya kepada Kiainya itu. Pagi ini Yahya hendak setor halaman ketiga dari juz lima. Ia melantunkan hafalannya itu dengan tartil. Nada suaranya yang lirih membuat lantunannya terdengar merdu. Kefasihannya dalam melantunkan membuat siapapun merinding saat mendengar. Meski bukan Yahya yang melantunkan, jika orang itu mendalami maknanya siapapun akan terenyuh saat mendengar ayat-ayat suci-Nya dilantunkan.
Selesai setoran, pukul lima lebih tiga puluh menit. Para santri yang sekolah diperbolehkan untuk kembali terlebih dahulu. Mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil jatah sarapan. Yahya sudah mengenakan seragamnya batiknya. Kemudian ia berjalan menuju dapur untuk mengambil jatah sarapannya dan ia makan disana juga, lalu keluar dengan perut yang sudah terisi.
Pukul enam lebih sepuluh menit. Yahya keluar dari pesantren menuju ke sekolahnya. Hari ini hari Kamis. Hari pertamanya masuk sekolah setelah kecelakaan itu. Ia yakin, bahwa teman-temannya disekolah pasti akan menyambutnya dengan sukacita. Karena sudah genap dua minggu ia tidak berjumpa dengan mereka.
Tepat pukul enam lebih dua puluh menit Yahya sampai di sekolah. Benar. Dugaannya benar. Ia disambut dengan sukacita di sekolah. Mulai dari guru hingga teman-temannya menanyakan bagaimana keadaannya, bagaimana kabarnya. Beberapa pertanyaan terlontar kepadanya. Yahya hanya menanggapinya dengan santai. Setiap ada yang bertanya, Ia jawab. Ia bahagia. Rasa rindunya selama ini terbalas. Teman-temannya ternyata juga sangat merindukannya. Ia bersyukur dalam hati. Ia merasa bahwa yang ada disekitarnya saat ini bukan hanya guru dan teman-teman. Tetapi sebuah keluarga.
Seharian Yahya melewati harinya di sekolah. Pukul tiga lebih empat puluh menit Yahya keluar dari madrasah, setelah sholat ashar berjamaah. Kemudian pukul tiga lebih lima puluh ia sudah memasuki gerbang kecil pesantren. Ia langsung berjalan ke kamarnya untuk meletakkan tas dan mengambil peralatannya untuk mandi. Ia akan bersiap untuk ngaji sore.
Pukul empat sore. Yahya sudah siap untuk ngaji sore. Rencananya Ia akan menambah setoran hafalannya sore ini. Ia kenakan sarung hitamnya, kemeja coklatnya, dan kopyah hitamnya. Kemudian ia membuka lemarinya dan mengambil sebuah mushaf kecil berwarna biru tua lalu keluar menuju aula pesantren yang ada didepan kamarnya itu.
Yahya setoran hafalannya kepada Pak Kiai dengan nada tartil. Lantunannya tidak begitu cepat, juga tidak begitu lambat. Ia begitu fasih mengucap huruf demi hurufnya. Kalimatnya tak ada yang salah ataupun terlupa. Hanya ada beberapa kata yang Ia ulangi karena menyambungkan dengan huruf selanjutnya.
Setelah hafalan, ia tetap berdiam diri di aula. Sebentar ia nderes hafalan yang baru saja ia setor pada Pak Kiai. Kemudian ia meletakkan mushafnya di meja ngaji yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Lalu ia membaringkan tubuhnya di karpet tipis aula. Bersamaan dengan matanya yang terpejam. Sebenarnya tidur antara waktu ashar dan waktu maghrib itu lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Tetapi sekarang berbeda. Bagi santri, kapanpun ada waktu untuk tidur, meski lebih banyak madharatnya, mereka akan tetap tidur. Bahkan saat pelajaran di sekolah atau saat ngaji kitab sekalipun.
Sore hari pukul lima lebih dua puluh menit. Yahya dibangunkan oleh Syauqi, teman sekamarnya yang juga temannya di madrasah. Syauqi menepuk-nepuk bahu Yahya.
“Yahya, ayo bangun! Sudah mau masuk waktu maghrib!” ucap Syauqi pelan di telinga Yahya. Yahya perlahan membuka matanya. Matanya merah. Wajahnya lesu. Ia kemudian duduk sebentar sebelum ia berdiri untuk mengambil air wudhu.
“Qi, terima kasih sudah bangunkan! Kalau tidak ya bisa sampai besok pagi!” ucap Yahya berterima kasih sambil bercanda.
“Iya, sama-sama!” ucap Syauqi sambil balik tersenyum kepada Yahya. Syauqi kemudian duduk di samping Yahya. Tetapi Yahya berdiri dan berjalan ke tempat wudhu untuk mengambil air wudhu, meninggalkan Syauqi yang mulai membuka mushaf kecil di tangannya.
Suara adzan maghrib dengan keras berkumandang dari aula pesantren. Mendengarnya, semua santri mulai memadati aula. Selesai adzan magrib, lima menit kemudian iqamah dikumandangkan. Para jamaah kemudian menata shaf untuk salat. Seperti biasa, Pak Kiai mengambil posisi sebagai imam. Kemudian salat jamaah maghrib pun dilaksanakan. Tidak lama. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk selesai salam. Yang kemudian akan dilanjut dengan dzikir sesudah salat dan dzikir wajib Ratibul Haddad. Lalu doa panjang yang dipimpin oleh Pak Kiai sebagai imam.
Para santri yang sudah selesai melakukan aktivitas mereka di aula langsung keluar menuju ke dapur. Mereka akan mengambil jatah makan malam kemudian memakannya bersama di kamar. Yahya tak ada niat untuk tetap berdiam diri di aula, karena perutnya sudah melilit sejak bangun tidur tadi sore. Ia langsung keluar aula dan berjalan santai menuju ke dapur bersama dengan santri yang lain. Setelah dari dapur mereka berjalan ke kamar masing-masing dengan membawa makanan mereka masing-masing. Kemudian memakannya dengan lahap bersama. Menu malam ini adalah tempe goreng dengan cah kangkung. Begitu lezat dimata santri seperti Yahya.
Suara adzan isya’ yang dikumandangkan lirih dari aula pesantren membuat para santri yang sedang menikmati makanan mereka menjadi tergesa-gesa. Termasuk Yahya yang di piringnya masih tersisa sedikit nasi. Yahya langsung menyendok nasi itu dan memasukkan kedalam mulutnya. Lalu segera bangkit dan berjalan tergesa-gesa menuju dapur untuk mencuci piring kotornya. Kemudian dengan tergesa-gesa lagi ia berjalan menuju ke tempat wudhu dan langsung ke aula.
Tepat saat Yahya sampai di aula, iqamah dikumandangkan. Kemudian para santri menata shaf untuk salat jamaah isya’. Setelah jamaah isya selesai, akan ada ngaji diniyah hingga pukul sepuluh malam nanti. Setelah itu barulah semua santri bisa istirahat sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Yahya belum tidur hingga pukul sebelas malam. Ia nderes hafalannya kemudian mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Meski tugas-tugas sekolahnya itu tak selesai tuntas. Ia akan kerjakan besok saja di sekolah.
Pukul sebelas lebih empat puluh menit. Yahya meletakkan kopyahnya di lemari. Kemudian ia berbaring di karpet kamarnya. Yahya mulai memejamkan mata. Dengan cepat, ia sudah tertidur. Tidur terlentang satu sama lain dengan mas-mas yang lain. Kemudian besok pagi harus bangun dini hari untuk tetap beribadah kepada-Nya.
Setiap harinya Yahya lalui seperti itu. Bukan hanya Yahya, tetapi semua santri melewati masa-masa itu. Tanpa ada kata lelah sedikit pun. Karena, itulah santri. Ia akan timba ilmu dunia akhirat di pondok pesantren ini. Ia akan dapatkan barokah Kiai. Semua perjuangan ini tak akan pernah terhenti. Walau ia sudah pergi. Ia akan tetap jadi seorang santri. Karena selamanya ia akan tetap mengabdi sebagai santri.

Santri Mengabdi (2)


Sebuah angkutan umum berhenti didepan sebuah bangunan yang memiliki plakat dengan tulisan ‘Pondok Pesantren Tarbiyatul Qur’an’. Seorang santri berseragam tsanawiyah turun dari angkutan umum itu. Ia membayar ongkosnya lalu berjalan hendak masuk pesantren. Tetapi, langkahnya terhenti setelah melihat sebuah mobil Kijang berwarna krem yang terparkir di halaman depan pesantren. Ia merasa tak asing dengan mobil yang terparkir itu. Kemudian ia berjalan mendekat.
Benar. Seorang lelaki setengah baya keluar dari pintu depan tempat kemudi. Kemudian diikuti oleh seorang perempuan setengah baya yang juga keluar dari pintu depan mobil. Dari pintu belakang mobil, dua bocah laki-laki keluar, yang satu berumur lima tahun, yang satu lagi berumur dua belas tahun. Mereka mendekati santri itu dan menanyakan sesuatu padanya. Mereka adalah orang tua dan kedua adiknya Yahya yang datang untuk sambang setelah menghadiri sebuah acara di Malang.
Santri itu menceritakan semuanya kepada mereka. Kapan, mengapa, dimana, dan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Kedua orang tua Yahya sangat terkejut mendengar semua penjelasannya. Mamanya Yahhya bahkan tak lagi bisa membendung  air matanya. Mendengar semua itu, Ayahnya Yahya langsung meminta santri itu untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit tempat Yahya dirawat.
Lima belas menit perjalanan dari pesantren ke rumah sakit. Sebuah mobil Kijang berwarna krem berhenti di tempat parkir. Semua penumpangnya turun dan segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit, tepatnya menuju ruang UGD. Setelah sampai tepat di depan ruang UGD, pemandangan disana masih tetap sama. Di depan sana masih banyak santri dengan wajah cemas dan rasa khawatir yang mendalam.
Mamanya Yahya melihat putranya itu dari balik jendela kecil di pintu ruang UGD. Beliau kembali meneteskan air mata. Di dalam sana, putranya terlihat begitu lemah. Mukanya yang sebelah kiri penuh dengan darah. Tangannya yang sedikit membiru terlilit oleh infus yang airnya terus menetes sedikit demi sedikit. Bukan hanya selang infus yang melilit tangannya. Tetapi selang yang terhubung dengan tabung oksigen pun terpasang di hidungnya.
Tiga jam sudah Yahya terbaring lemah tak sadarkan diri diatas ranjang rumah sakit itu. Matanya masih tertutup rapat. Bibirnya juga sama. Wajah kirinya yang tergores aspal masih merah dan sesekali masih mengeluarkan darah, karena lukanya memang lebar. Bersyukur bahwa dokter mengatakan ia sudah lebih baik. Dokter juga mengatakan bahwa mungkin luka di wajahnya itu akan meninggalkan bekas yang sulit hilang.
“Allah... Allah... Allah...” ditengah keheningan rumah sakit, bibir Yahya bergetar menyebut asma Allah. Ia sudah sadar. Yahya sudah sadar. Mamanya yang sebelumnya terus berdzikir, seketika menghentikan dzikirnya. Ibrahim, adiknya Yahya yang menangis sedari datang sore tadi menghentikan tangisnya seketika.
“Mas, Allah selalu ada bersamamu! Ayo sadar! Kamu jangan seperti ini terus, Mama ini khawatir!” ucap Mamanya Yahya tepat di telinga Yahya sambil meneteskan air matanya karena memendam rasa cemas dan rasa khawatir yang mendalam. Yahya merespon. Ia kemudian sedikit membuka matanya.
“Mas Yahya, sampean sudah sadar. Ayo coba sampean muraja’ah hafalan Al-Qur’an dari juz satu!” Mas Toni asal berucap.
“Audzubillahiminassyaithanirrajim, bismillahirrahmanirrahim...” Yahya kemudian merespon ucapan yang keluar dari bibir Mas Toni. Mas Toni dan Mas Sina yang ikut menunggui disitu terkejut bukan main. Padahal itu hanyalah ucapan yang asal ucap saja dari bibir Mas Toni. Tetapi Yahya meresponnya dengan ucapan yang serius.
Yahya dengan fasih mengucapkan huruf demi hurufnya. Dimulai dari juz satu. Mas Toni seketika itu membuka mushaf kecilnya. Ia menyimaknya dengan teliti. Jika ada kata yang salah, ia betulkan. Jika ada kalimat yang terlewat, ia luruskan. Sampai diakhir ayat juz satu. Yahya berhenti. Ia menarik nafas. Matanya yang sedari tadi hanya terbuka sedikit dikedip-kedipkannya.
Mamanya yang duduk disamping kanannya tanpa sadar meneteskan air mata. Itu bukan air mata kesedihan, bukan juga air mata kecemasan seperti sebelumnya. Tetapi, itu adalah air mata kebahagiaan dan air mata kebanggaan dari seorang Ibu yang selalu berharap berhasil mendidik anak-anaknya.
“Allah...” Yahya kembali menyebut asma Allah.
“Allah selalu ada bersamamu, Mas. Kenapa muraja’ahannya dihentikan? Mama masih ingin mendengarkan kamu memuraja’ah hafalanmu lagi!” ucap Mamanya berbisik lagi di telinga Yahya. Yahya merespon lagi. Ia lalu melanjutkan hafalan Al-Qur’annya. Bahkan sekarang Mamanya sendiri yang menyimak. Sambil menyimak, air mata Mamanya tak henti-hentinya mengalir.
Hingga setengah jam setelahnya lagi. Pukul sembilan malam. Sudah selesai juz dua. Mamanya menghentikannya. Beliau menyuruh putranya itu untuk berhenti dan segera istirahat saja. Meski tak ada isyarat menerima, Yahya dengan spontan berhenti. Bibirnya tertutup rapat. Matanya yang sempat terbuka, sekarang juga tertutup rapat. Tangannya yang dililit oleh infus juga tak lagi bergerak. Ia mungkin sudah tertidur.
***
Pukul empat lebih empat puluh pagi. Adzan subuh sayup-sayup berkumandang. Menembus dinginnya udara pagi dengan suhu enam belas derajat celsius. Yahya sudah terbaring di kasur kamarnya. Terbaring lemah dengan selimut yang menutupi separuh tubuhnya. Matanya masih tertutup rapat. Serapat genggaman tangan adiknya, Ibrahim yang selalu menemaninya di kamarnya selama dua hari ini.
  Pagi itu, pukul delapan. Dua hari setelah kecelakaan itu terjadi. Yahya sudah membuka matanya. Ia sudah sadar sepenuhnya. Walau ia hanya bisa duduk saja di kasur kamarnya. Mamanya menanyakan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Tetapi Yahya tak ingat apapun. Bahkan saat ia memuraja’ah hafalannya pun ia tak ingat. Yang ia ingat hanyalah gelap. Sangat gelap hingga ia tersadar pagi itu.
Di tempat yang lain. Di waktu yang lain. Dengan suasana yang lain. Seseorang dengan balutan mukena putihnya sedang menengadahkan kedua tangannya. Matanya basah oleh air mata. Bibirnya terus komat-kamit tak bersuara. Ia berdoa untuk orang yang jauh disana. Ia berdoa untuk kesembuhan orang itu. Ia pun tak tahu apakah orang yang didoakannya itu tahu bahwa ia mendo’akannya. Itu tak penting. Yang terpenting adalah doanya itu bisa sampai kepadanya. Doa untuk Yahya yang kabar kecelakaannya baru diketahuinya pagi ini. Saat itu, tanpa sadar ia terus meneteskan air mata.
***
Seperti bersinarnya kembali matahari setelah melewati malam yang panjang. Seperti sejuknya udara setelah mengalami kegerahan. Dunia seakan hidup kembali. Dunia seakan menyapa kembali. Sadarnya Yahya dari tidur panjangnya selama berhari-hari ini membuat kedamaian di hati seluruh keluarganya, terutama Mamanya. Kecemasan dan kekhawatiran yang ada dalam hati beliau lenyap seketika.
Sepuluh hari setelah kecelakaan itu, Yahya sudah pulih seutuhnya. Ia sudah bisa duduk dan berbicara banyak, bahkan bercanda. Berbeda dengan sebelumnya yang ia hanya bisa terbaring lemah diatas kasur saja. Luka di wajahnya sedikit demi sedikit juga sudah mulai membaik. Kamar itu. Rumah itu. Sudah memiliki nyawa kembali. Rumah itu bernyawa karena kesembuhan Yahya dan kembalinya canda tawa dari para penghuninya.
Berhari-hari sudah Yahya pulang ke Probolinggo. Ia tidak tahu bagaimana keadaan teman-temannya di Malang. Bagaimana pelajarannya di sekolah. Bagaimana setoran hafalannya di Pondok. Ia tidak tahu. Ia hanya berharap bahwa pemulihan di wajahnya itu bisa berjalan dengan cepat, agar ia bisa segera kembali ke Malang. Bertemu dengan teman-teman hebat. Bertemu dengan Mas-mas pondok. Bercanda bersama mereka. Tertawa bersama mereka. Ia telah rindu masa-masa itu. Apalagi ia belum mengucapkan rasa terima kasihnya kepada teman-teman yang sudah membantunya saat kecelakaan itu.

Santri Mengabdi (1)


Pengabdian Santri
Lorong rumah sakit itu tampak hening. Lantainya yang putih bersih ternodai oleh beberapa tetes darah. Sebelas pemuda tampak sedang duduk berjajar tak rapi di tempat duduk depan ruang UGD. Enam dari mereka memakai seragam tsanawiyah yang sudah tak beraturan lagi. Sedangkan lima yang lain memakai pakaian khas santri. Wajah mereka semua tampak pucat karena rasa khawatir yang mendalam.
Beberapa menit yang lalu, teman mereka baru saja masuk ruang UGD karena jatuh terpental dari angkutan umum. Kepalanya terbentur batu. Wajahnya tergores di aspal. Dan sekarang mereka tidak tahu bagaimana keadaannya didalam ruang kamar UGD sana. Mereka semua hanya bisa berharap dan berdo’a semoga tak terjadi apa-apa dengannya.
Kreek!!! Seorang wanita berjilbab putih dengan pakaian khas perawatnya keluar dari ruang UGD. Semua pemuda yang menunggu disitu langsung berdiri. Mereka pikir perawat itu akan memberitahu keadaan teman mereka yang terbaring lemah di kasur ruang UGD itu, tetapi pada nyatanya perawat itu hanya keluar dan berlalu begitu saja.
Dengan wajah kecewa, semua pemuda yang berstatus sebagai santri itu kembali duduk. Salah satu dari mereka tetap berdiri sambil melongokkan kepala ke jendela kecil yang berada di pintu ruang UGD itu, berniat untuk melihat keadaan temannya didalam, tetapi tak terlihat karena terhalang dokter dan para perawat yang menangani.
Mereka semua yang berada disana terus berdo’a. Santri dengan kemeja biru dan kopyah yang menutupi keningnya itu terus membaca mushaf kecil ditangannya. Mulutnya terus komat-kamit tak bersuara. Yang duduk disebelahnya adalah pemuda dengan seragam tsanawiyah tak beraturan. Mulutnya juga terus komat-kamit dengan genggaman tasbih yang terus digerakkannya.
“Saya sudah urus semua administrasinya, sekarang saya mau pergi dulu, kalian sebaiknya tetap disini menemani teman kalian itu. Siapa namanya? Yahya? Ucapkan permohonan maaf saya kepadanya dan kepada kedua orang tuanya ya, saya akan lebih berhati-hati lagi setelah ini!” ucap sopir angkot yang angkotnya ditumpangi oleh Yahya dan yang sudah menyebabkan kecelakaan itu terjadi. Beruntung ia masih mau bertanggung jawab atas kesalahannya.

Minggu, 28 Oktober 2018

LITERASI

ini adalah pojok baca milik kelas XI-Agama
   sering-seringlah kamu dalam membaca karena dengan membaca kita dapat menambah wawasan yang sangat luas dan dengan membaca kita dapat lebih mudah dalam menuntut ilmu
   dan kata seorang ulama Al Imam Asy Syafi'i pernah berkata bahwa "jika engkau tak tahan penatnya belajar, maka engkau harus tahan dengan pahitnya kebodohan."