
Hari masih gelap. Rembulan masih bersinar terang. Suhu udara masih dingin menggigit. Menyisakan embun pada dedaunan. Yahya berjalan santai dari kamar mandi pesantren menuju kamarnya. Sampai di kamar, ia langsung mengenakan kopyah hitamnya yang tersimpan di lemari. Lalu mengoleskan minyak wangi di kemejanya. Kemudian mengambil mushafnya lalu keluar lagi menuju aula pesantren.
Masih pukul tiga dini hari. Masih sekitar satu jam lagi menuju adzan Subuh berkumandang. Yahya berdiri, lalu takbiratul ihram. Ia sholat tahajud empat rakaat kemudian ia lanjut dengan nderes hafalan Al-Qur’annya juz empat. Yahya memajukan kopyahnya hingga menutupi keningnya, kemudian menundukkan kepalanya. Bibirnya terus komat-kamit tak bersuara. Hanya suara riuh para santri yang terdengar jelas di telinga.
Masjid yang berada dekat dengan pesantren itu mulai mengumandangkan adzan subuh tepat satu jam kemudian. Sayup-sayup lantunannya terdengar dari aula pesantren. Tempat dimana Yahya duduk dan melantunkan ayat-ayat suci-Nya. Yahya spontan menghentikan hafalannya. Ia menutup mushafnya lalu menjawab panggilan-Nya. Setelah lantunan adzannya selesai, ia membaca doa. Lalu berdiri lagi kemudian takbiratul ihram lagi. Yahya melaksanakan salat sunah qobliyah subuh. Karena ia ingat perkataan guru bahasa indonesianya, Pak Imam Ghozali, bahwa melaksanakan salat sunah qobliyah subuh, begitu banyak keutamaannya.
Waktu subuh di pesantren tak ada lantunan adzan. Hanya ada salat jamaah subuh dan setoran pagi bersama dengan Pak Kiai. Pukul empat kurang sepuluh menit. Pak Kiai mulai membangunkan para santrinya yang masih berlayar dalam mimpi mereka. Beliau membawa sebuah alat semprot lengkap dengan airnya. Ini merupakan kebiasaan di pesantren. Bahwa siapapun yang bangunnya terlambat, muka dan tempat tidurnya akan basah dengan semprotan air dari Pak Kiai
Yahya jadi mengingat sesuatu. Ia ingat bahwa dirinya juga pernah terkena semprotan air dari Pak Kiai saat terlambat bangun salat subuh karena ia sedang sakit saat itu. Yahya menyungging senyum kecil di bibirnya. Kemudian melihat Pak Kiai yang masuk ke kamarnya. Ia bersyukur bahwa ia sudah berada di aula saat itu. Kemudian ia mengambil nafas panjang. Lalu mendengar suara Pak Kiai yang mengingatkan para santrinya agar jangan pernah terlambat bangun lagi.
Suara iqamah sayup-sayup dilantunkan oleh salah satu santri senior di pesantren. Saat iqamah selesai dikumandangkan, semua yang ada di aula langsung berdiri. Salat jamaah subuh siap dilaksanakan. Pak Kiai mengambil posisi sebagai imam. Kemudian membalikkan badan dan mengingatkan jamaahnya untuk merapatkan shaf agar salatnya lebih sempurna. Yahya berada pada shaf paling depan. Ia menikmati ibadahnya itu. Saat itu ia hanyalah mengingat Allah, Allah, dan Allah. Tak ada yang lain dalam pikirannya kecuali Allah, satu-satunya Tuhan yang patut disembah.
Salat jamaah subuh sudah selesai, dilanjut dengan dzikir sesudah salat kemudian dzikir wajib Ratibul Haddad. Setelah itu Pak Kiai mengangkat tangannya dan berdoa. Seperti biasa, doa beliau begitu panjang. Karena memang beliau harus mendo’akan banyak orang, termasuk santrinya yang harus beliau didik menjadi insan yang bermanfaat.
Setelah jamaah subuh selesai, semua santri diwajibkan setoran hafalannya kepada Pak Kiai. Yahya membaca taawudz kemudian basmalah saat hendak memulai setorannya kepada Kiainya itu. Pagi ini Yahya hendak setor halaman ketiga dari juz lima. Ia melantunkan hafalannya itu dengan tartil. Nada suaranya yang lirih membuat lantunannya terdengar merdu. Kefasihannya dalam melantunkan membuat siapapun merinding saat mendengar. Meski bukan Yahya yang melantunkan, jika orang itu mendalami maknanya siapapun akan terenyuh saat mendengar ayat-ayat suci-Nya dilantunkan.
Selesai setoran, pukul lima lebih tiga puluh menit. Para santri yang sekolah diperbolehkan untuk kembali terlebih dahulu. Mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah, kemudian pergi ke dapur untuk mengambil jatah sarapan. Yahya sudah mengenakan seragamnya batiknya. Kemudian ia berjalan menuju dapur untuk mengambil jatah sarapannya dan ia makan disana juga, lalu keluar dengan perut yang sudah terisi.
Pukul enam lebih sepuluh menit. Yahya keluar dari pesantren menuju ke sekolahnya. Hari ini hari Kamis. Hari pertamanya masuk sekolah setelah kecelakaan itu. Ia yakin, bahwa teman-temannya disekolah pasti akan menyambutnya dengan sukacita. Karena sudah genap dua minggu ia tidak berjumpa dengan mereka.
Tepat pukul enam lebih dua puluh menit Yahya sampai di sekolah. Benar. Dugaannya benar. Ia disambut dengan sukacita di sekolah. Mulai dari guru hingga teman-temannya menanyakan bagaimana keadaannya, bagaimana kabarnya. Beberapa pertanyaan terlontar kepadanya. Yahya hanya menanggapinya dengan santai. Setiap ada yang bertanya, Ia jawab. Ia bahagia. Rasa rindunya selama ini terbalas. Teman-temannya ternyata juga sangat merindukannya. Ia bersyukur dalam hati. Ia merasa bahwa yang ada disekitarnya saat ini bukan hanya guru dan teman-teman. Tetapi sebuah keluarga.
Seharian Yahya melewati harinya di sekolah. Pukul tiga lebih empat puluh menit Yahya keluar dari madrasah, setelah sholat ashar berjamaah. Kemudian pukul tiga lebih lima puluh ia sudah memasuki gerbang kecil pesantren. Ia langsung berjalan ke kamarnya untuk meletakkan tas dan mengambil peralatannya untuk mandi. Ia akan bersiap untuk ngaji sore.
Pukul empat sore. Yahya sudah siap untuk ngaji sore. Rencananya Ia akan menambah setoran hafalannya sore ini. Ia kenakan sarung hitamnya, kemeja coklatnya, dan kopyah hitamnya. Kemudian ia membuka lemarinya dan mengambil sebuah mushaf kecil berwarna biru tua lalu keluar menuju aula pesantren yang ada didepan kamarnya itu.
Yahya setoran hafalannya kepada Pak Kiai dengan nada tartil. Lantunannya tidak begitu cepat, juga tidak begitu lambat. Ia begitu fasih mengucap huruf demi hurufnya. Kalimatnya tak ada yang salah ataupun terlupa. Hanya ada beberapa kata yang Ia ulangi karena menyambungkan dengan huruf selanjutnya.
Setelah hafalan, ia tetap berdiam diri di aula. Sebentar ia nderes hafalan yang baru saja ia setor pada Pak Kiai. Kemudian ia meletakkan mushafnya di meja ngaji yang berada tak jauh dari tempatnya duduk. Lalu ia membaringkan tubuhnya di karpet tipis aula. Bersamaan dengan matanya yang terpejam. Sebenarnya tidur antara waktu ashar dan waktu maghrib itu lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Tetapi sekarang berbeda. Bagi santri, kapanpun ada waktu untuk tidur, meski lebih banyak madharatnya, mereka akan tetap tidur. Bahkan saat pelajaran di sekolah atau saat ngaji kitab sekalipun.
Sore hari pukul lima lebih dua puluh menit. Yahya dibangunkan oleh Syauqi, teman sekamarnya yang juga temannya di madrasah. Syauqi menepuk-nepuk bahu Yahya.
“Yahya, ayo bangun! Sudah mau masuk waktu maghrib!” ucap Syauqi pelan di telinga Yahya. Yahya perlahan membuka matanya. Matanya merah. Wajahnya lesu. Ia kemudian duduk sebentar sebelum ia berdiri untuk mengambil air wudhu.
“Qi, terima kasih sudah bangunkan! Kalau tidak ya bisa sampai besok pagi!” ucap Yahya berterima kasih sambil bercanda.
“Iya, sama-sama!” ucap Syauqi sambil balik tersenyum kepada Yahya. Syauqi kemudian duduk di samping Yahya. Tetapi Yahya berdiri dan berjalan ke tempat wudhu untuk mengambil air wudhu, meninggalkan Syauqi yang mulai membuka mushaf kecil di tangannya.
Suara adzan maghrib dengan keras berkumandang dari aula pesantren. Mendengarnya, semua santri mulai memadati aula. Selesai adzan magrib, lima menit kemudian iqamah dikumandangkan. Para jamaah kemudian menata shaf untuk salat. Seperti biasa, Pak Kiai mengambil posisi sebagai imam. Kemudian salat jamaah maghrib pun dilaksanakan. Tidak lama. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk selesai salam. Yang kemudian akan dilanjut dengan dzikir sesudah salat dan dzikir wajib Ratibul Haddad. Lalu doa panjang yang dipimpin oleh Pak Kiai sebagai imam.
Para santri yang sudah selesai melakukan aktivitas mereka di aula langsung keluar menuju ke dapur. Mereka akan mengambil jatah makan malam kemudian memakannya bersama di kamar. Yahya tak ada niat untuk tetap berdiam diri di aula, karena perutnya sudah melilit sejak bangun tidur tadi sore. Ia langsung keluar aula dan berjalan santai menuju ke dapur bersama dengan santri yang lain. Setelah dari dapur mereka berjalan ke kamar masing-masing dengan membawa makanan mereka masing-masing. Kemudian memakannya dengan lahap bersama. Menu malam ini adalah tempe goreng dengan cah kangkung. Begitu lezat dimata santri seperti Yahya.
Suara adzan isya’ yang dikumandangkan lirih dari aula pesantren membuat para santri yang sedang menikmati makanan mereka menjadi tergesa-gesa. Termasuk Yahya yang di piringnya masih tersisa sedikit nasi. Yahya langsung menyendok nasi itu dan memasukkan kedalam mulutnya. Lalu segera bangkit dan berjalan tergesa-gesa menuju dapur untuk mencuci piring kotornya. Kemudian dengan tergesa-gesa lagi ia berjalan menuju ke tempat wudhu dan langsung ke aula.
Tepat saat Yahya sampai di aula, iqamah dikumandangkan. Kemudian para santri menata shaf untuk salat jamaah isya’. Setelah jamaah isya selesai, akan ada ngaji diniyah hingga pukul sepuluh malam nanti. Setelah itu barulah semua santri bisa istirahat sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Yahya belum tidur hingga pukul sebelas malam. Ia nderes hafalannya kemudian mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Meski tugas-tugas sekolahnya itu tak selesai tuntas. Ia akan kerjakan besok saja di sekolah.
Pukul sebelas lebih empat puluh menit. Yahya meletakkan kopyahnya di lemari. Kemudian ia berbaring di karpet kamarnya. Yahya mulai memejamkan mata. Dengan cepat, ia sudah tertidur. Tidur terlentang satu sama lain dengan mas-mas yang lain. Kemudian besok pagi harus bangun dini hari untuk tetap beribadah kepada-Nya.
Setiap harinya Yahya lalui seperti itu. Bukan hanya Yahya, tetapi semua santri melewati masa-masa itu. Tanpa ada kata lelah sedikit pun. Karena, itulah santri. Ia akan timba ilmu dunia akhirat di pondok pesantren ini. Ia akan dapatkan barokah Kiai. Semua perjuangan ini tak akan pernah terhenti. Walau ia sudah pergi. Ia akan tetap jadi seorang santri. Karena selamanya ia akan tetap mengabdi sebagai santri.